Bonne lecture
Setahun terakhir, wajah Angkie Yudistia makin sering muncul di media massa. Sebagai orang yang kehilangan fungsi pendengaran di usia belia, ia tak pernah mengumbar kesedihan. Tutur katanya justru menggelorakan semangat juang bagi siapaun yang tersentuh. Bagi Angkie, itulah keinginan terbesarnya dalam hidup. Angkie yang menjadi tuna rungu sejak berusia 10 tahun berharap lebih banyak lagi difabel yang berdaya. Segudang prestasi yang ia ukir setelah melewati masa-masa sulit dapat menjadi inspirasi.
Angkie sedih mengetahui masih banyak difabel yang belum belum bisa mengakses dunia luar. Beberapa diantaranya terisolir karena orang tua mereka masih menganggap anak difabel sebagai aib keluarga. Delegasi Indonesia di ajang Asia Pacific Center of Disability (Thailand) dan International Young Hard of Hearing (Perancis) ini mencoba membukakan pintu bagi mereka dengan meluncurkan biografinya di tahun 2011.
Buku Invaluable Experience to Pursue Dreams (Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas)memuat pengalaman Angkie menapaki pasang surut kehidupannya sebagai tuna rungu. Ia memang tidak mengatakan segalanya akan berjalan mulus ketika difabel mencoba menata masa depan. Finalis None Jakarta 2008 ini hanya memperlihatkan setiap orang memiliki masa depan asalkan mau berusaha.
Angkie berpendapat difabel sama saja seperti orang lainnya. Semua orang harus menemukan potensi masing-masing agar dapat menikmati masa depan. “Saya berharap dengan membaca buku itu, pandangan orang mengenai tuna rungu bisa berubah dan akhirnya bersedia menyatakan bahwa semua manusia itu sama,” ujar bungsu dari dua bersaudara ini.
Selain berkampanye melalui buku, Angkie juga bergerak bersama Thisable Enterprise. Bersama rekan-rekannya, ia menciptakan program corporate social responsibility(CSR) untuk difabel. Mereka menghubungkan rencana CSR perusahaan agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan difabel yang ingin mengembangkan diri dan menjadikan keberadaannya bermakna di masyarakat.
Di mata Angkie, tak begitu penting berapa banyak difabel yang telah terbantu oleh program Thisabel Enterprise. Bukan kuantitas yang menjadi ukuran keberhasilan. “Tetapi tengoklah kesempatan yang terbuka bagi difabel untuk berkembang,” komentar pendiri merangkap CEO Thisable Enterprise ini.
Angkie sadar program yang Thisabel kembangkan memang terbilang baru. Butuh usaha lebih untuk membuat CSR-nya pada Thisable. Kendati demikian, seiring waktu makin banyak perusahaan yang tertarik untuk berkolaborasi dengannya.
Menatap ke depan, Angkie yakin ia tetap akan menjadi dirinya sendiri. Peraih gelar master komunikasi pemasaran ini bertekad untuk berbuat lebih banyak lagi bagi sesama difabel. “Saya ingin masyarakat peka dan menaruh perhatian pada isu disabilitas, agar kondisi marsyarakat yang inklusif bisa tercipta, khususnya di Indonesia,” ucap perempuan yang gemar travelling dan membaca ini.
Masa-masa sulit
Tak satupun orang mengetahui secara persis episode selanjutnya dalam kehidupan. Angkie Yudistia pun sempat mengalami masa sulit sebelum memetik manisnya buah perjuangan.
Angkie tak pernah tahu secara pasti penyebab kerusakan indera pendengarannya. Ia mengatakan, belum ada penelitian yang valid yang dapat menyingkap pencetusnya. Dugaan terbesar, ia mengalami efek samping dari tingginya tinggal si konsumsi antibiotik. Semasa kecil ia mendapat daerah endemik malaria dan sering diberi antibiotik ketika demam.
Orang tua Angkie telah menempuh banyak cara untuk mengusahakan kepulihan bagi anandanya. Dara kelahiran 5 Juni 1987 ini pernah diperiksakan ke dokter di dalam maupun luar negeri, bahkan ke pengobatan alternatif. Tak satupun cara itu berhasil membawa Angkie keluar dari dunia yang senyap.
Kenyataan itu tak membuat Angkie tumbuh menjadi gadis yang minder. Ia belajar untuk berkomunikasi dengan cara lain. “Saya membaca bibir orang untuk bisa mengikuti pembicaraan,” ujarnya ringan. Ketegaran Angkie terbentuk seiring waktu. Ia sempat mengalami masa-masa sulit, terutama ketika masih sekolah. Teman-teman sering meledeknya lantaran tak mendengar percakapan. Sejumlah kawan bahkan mengucilkannya.
Menjadi bahan tertawaan, hati Angkie teriris. Ketika terluka, ia selalu berbagi perasaan dengan sang bunda. “Keluargalah yang membuat mental saya lebih tangguh,” ungkapnya. Angkie pun paham, ia tak akan bisa mengerem mulut orang untuk melontarkan perkataan yang menyakiti. Kesadaran itu menjadi bekalnya untuk menghadapi hari-hari yang sulit. Kala ada ocehan yang tak berkenan di hatinya, Angkie membalasnya dengan baik.
Di usia remaja, Angkie mulai menganggap gangguan pendengaran sebagai bagian dari hidupnya. Satu per satu kelebihannya muncul dan membuat orang tak lagi terfokus pada kelemahannya. Di usia 21 tahun, perempuan yang amat tertolong dengan alat bantu dengar ini berhasil menjadi finalis None Jakarta mewakili wilayah Jakarta Barat. Di tahun yang sama, dia juga terpilih sebagai The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008.
Lulus dengan gemilang dari London School of Public Relation, pada 2009 Angkie sempat bekerja di bagian Marketing Communication IBM Indonesia. Setahun berikutnya ia lalui dengan bergabung sebagai corporate public relation PT Geo Link Nusantara. “Saat melamar pekerjaan, saya mengalami puluhan kali penolakan karena menyandang tuna rungu” ujarnya.
Ini teman karya dari si penembus batas
Ini teman karya dari si penembus batas
0 komentar:
Posting Komentar